Senin, 27 Februari 2012

Jatuh Dari Masa Lalu
Oleh : Uswatun Hasanah
“ Wandes !!, Wandes !!, kemarilah sebentar !, seru Rindi teman satu kostnya. “Ada pa si Rin ??? “Tanya Wandes “ Ayo kemarilah aku ingin menunjukan sesuatu padamu “. Apa itu??” Tanya Wandes penasaran “. Ternyata Rindi menunjukan selembar kertas hasil study kemarin, pada Wandes.” Selamat ya  IP kamu bagus tahun ini“, jawab Wandes sambil tersenyum manis”. “Tingkatkanlah terus prestasimu kawan “, buat bahagia orang tuamu”. Walau terkadang biaya hidup kita disini sering tersendat “. “Iya aku juga akan memberikan yang terbaik buat mereka’, jawab Rindi penuh semangat’. “Aku sendiri ingin sekali mencari kerja, membantu mereka “ keluh Wandes”. Curhatan itu pun berakhir setelah waktu menunjukan pukul 22.00 wib.
Rindi adalah teman satu kost Wandes. Mereka hidup jauh dari orang tua demi meneruskan pendidikannya di perguruan tinggi. Namun demikian Rindi tidak satu jurusan dengan Wandes. Ia mengambil Sastra Inggris, sedangkan Wandes mengambil jurusan Psikolog. Secara umum realitanya sudah menjamur, banyak orang tak mampu mengolah pemikirannya sehingga berujung stres. Bahkan stres tidak hanya menyerang pada orang dewasa, pekerja kantor, para pejabat, tetapi menyerang siapa saja yang tak pandai mengolah pikirannya dengan sebaik mungkin.
Tanpa melakukan observasi alasan-alasan yang didasari realita itulah yang mendorongku kuat untuk masuk keperguruan tinggi mengambil jurusan “psikolog”. Jurusan yang menyimpan segudang cerita, masalah dan aplikasi penyelesaiannya. Jika tidak memiliki mental yang kuat mungkin lebih baik mundur secepatnya. Tapi berbeda denganku semua resiko sudah ku pertimbangkan, mengatasi masalah orang lain walau terkadang masalah kita sendiri belum dapat terselesaikan, bagiku tak masalah. Toh menjadi seorang psikolog itu akan dapat melatih pola pikir kita menjadi lebih elastis dan sistematis.
Jika disinggung tentang keadaan keluargaku. Aku hanya seorang anak  karyawan pabrik dan Ibuku hanya seorang penjahit kecil-kecilan. Tapi Ayahku orangnya keras apalagi jika marah, semua bisa berubah seratus delapan puluh derajat. Ayah akan tidak suka jika tidak sesuai dengan kehendak hatinya. Jika sekali tidak suka dengan seseorang maka seterusnya tidak akan disukainya. Pernah dulu Ibu dipukul Ayah karena lupa memasak nasi, Ayah pun terbawa emosi karena kelelahan sepulang kerja. Tapi dibalik sifatnya yang keras, Ayah selalu baik dengan siapapun, ramah dan tidak sombong. Sementara Adikku satu-satunya masih duduk dibangku SD. Hanny namanya. Syukur sekarang keadaanya sudah mendingan. Dulu ia pernah mengalami trauma besar saat berumur 7 tahun. Ia pernah ditabrak mobil dan terpental ke sawah-sawah yang tidak jauh dari rumah kami. Entah siapa pelakunya sampai sekarang belum dapat ditemukan polisi. Hal itu menyebabkan Hanny sedikit sensitif apalagi jika mendengar suara klacson maka ia langsung bersembunyi, menjauhi suara itu. Dan sekarang umurnya 10 tahun. Satu hal yang belum kembali seperti biasa Hanny selalu tidur malam. Ia tidak bisa tidur cepat seperti orang pada umumnya. Ia akan tidur jika jarum jam menunjukan pukul 00.00 wib. Entah apa penyebabnya sejak kecelakaan itu sesekali Hanny dihantui rasa takut dan badannya sering panas. Mungkin alasan itu juga yang mendorongku masuk dunia psikolog. Aku ingin sekali membuang rasa takut adikku dan mengembalikannya lagi seperti yang dulu. Karena jika ketakutan itu melanda, adikku tak mau makan sampai berhari-hari. Itulah yang paling kami takutkan. Kami selalu berdo’a agar semakin membaik. Kesimpulannya adikku masih butuh pengawasan. Walaupun sudah pernah menjalani terapi dari dokter.
Aku yang biasa disapa Wandes mencoba menjajaki dunia baru, langkah baru yang akan memberikan banyak pelajaran buatku. Belajar dari sebuah pengalaman yang ada. Yakin dan percaya, itu saja pikirku kunci menyemangati hidup ini.
Pelan-pelan aku mulai mempelajari banyak ilmu tentang hakikat manusia sampai pada perkembangan pola pikirnya. Ternyata tak mudah memecahkan sesuatu hal kecil jika kita tidak mengetahuinya secara detail penyebab timbulnya permasalahan itu. Tugas kuliah yang mulai menumpuk. Membuaatku semakin jarang pulang kerumah karena  harus diselesaikan sebelum semester tiba. Aku khawatir dengan keadaan keluarga dirumah. Satu bulan sekali aku pulang kerumah berat sekali buatku dan terkadang kepulanganku membuat risau Ibuku walau ditutupi dengan senyum riangnya. Aku tahu apa yang terlintas dipikiran Ibuku. Selain melepas rindu terhadap keluargaku. Jika aku pulang kerap kali  Ibu selalu memberikan uang kost, makan dan kebutuhanku yang lain. “Dalam hati ingin sekali aku bisa membantu biaya kuliahku sendiri.” Semoga saja bisa Tuhan “. Begitu besar harapan Ibuku dengan hasil akhir perkuliahanku nanti. Padahal masih 1 tahun lagi aku harus berhadapan dengan dosen dan dunia kampusku. Walau sesekali Ibu pernah menyindir tentang  asmaraku. Tapi aku tak menghiraukannya. Mungkin jika dihitung, wanita seumuranku ini sudah pantas untuk menikah, bahkan teman-teman SMA ku dulu sudah banyak yang melepas masa lajangnya. Namun aku tetap fokus pada tujuan awal.
Sebulan kemudian Rindi teman Wandes mendapat kabar bahwa dibutuhkan segera wanita  untuk menangani pasien yang bermasalah di sebuah lembaga sosial  selama 1 bulan jika baik maka akan di uji agar dapat langsung bekerja di lembaga tersebut. Tempat juga yang  jauh dari kostannya. Dengan syarat memiliki jasmani yang sehat. Rindi mencoba menawarkan pada Wandes, karena kebetulan sesuai dengan jurusan Wandes. “Ndes, aku mendapat info siang tadi dari temanku, bahwa dicari wanita yang mampu melayani pasien di lembaga sosial, kamu mau ?” tanya Rindi”, boleh jugatuh, tapi ntarla ku pertimbangkan dulu Rin, aku juga gag mau kuliahku terbengkalai “. “Ya sudah, jika kamu mau hubungi saja nomor ini ya” Sambung Rindi sambil memberikan nomor itu diatas  lembaran kertas putih”.
Malam yang sunyi tanpa kehadiran sang bulan, hanya terdengar keramaian suara nyamuk yang saling beradu mencari mangsa. Malam itu aku masih belum dapat tertidur padahal waktu sudah menunjukan pukul 22.00 wib. Pikiranku masih tertuju pada selembar kertas putih pemberian Rindi tadi siang. Pikiranku terbelah ilusiku melayang apa yang harus kuputuskan. Terlepas dari berbagai kekurangan dan kemampuanku tindakan adalah jalan keluarnya. “Kapan aku bisa tau jika aku tak mau mencobanya”. Untungnya mata kuliah semester V ini tidak terlalu banyak hanya tiga hari saja, sehingga aku bisa ambil kelas malam. Kerja pun tak terganggu. Sebelum semua diputuskan Wandes tidak lupa meminta izin dengan orang tuanya. Syukur mereka mengizinkannya.
Matahari yang menampakkan cahayanya. Cerah dan besinar seolah menjadi saksi    dalam mengawali aktivitas Wandes. Siang itu pasien pertamanya datang masuk ruangannya. “Silakan duduk Mbak”, apa yang bisa Saya bantu ?” Tanya Wandes”. Tiba-tiba ketika ingin memulai cerita gadis itu menangis. ” Wandes pun memberinya sapu tangan “. “ Saya sedih Mbak Wandes, saya akan ditinggal menikah oleh tunangan saya ” sambil terbata-bata”. Apa penyebabnya Mbak ?? ”Tanya Wandes kembali”. “ Saya tidak tau pasti Mbak, yang pasti dia terpaksa menikahi wanita lain karena ingin menyelamatkan keluarganya’. “ Saya yakin Dia hanya mencintaiku Rani sebagai cinta pertamanya. “ percayalah Mbak jika Dia jodoh Mbak Rani, pasti tunangan Mbak akan kembali ke pelukan Mbak’. Kita hanya bisa berikhtiar, beri waktu pada tunangan Mbak untuk memikirkan semua ini, kasi Dia support agar ia bisa memutuskan dengan bijak”. Semua belum terlambat akad belum terucap bahkan resepsi belum diselenggarakan”. Yakin dan berdo’alah semoga dia memang jodohnya Mbak Rani”. “Wandes mendekati Rani dan mengelus punggungnya mencoba menenangkan hati dan perasaannya yang sedang galau”. Cerita itupun berakhir ketika beban Rani sedikit berkurang. Sebelum pulang Rani menyempatkan diri untuk menyimpan nomor Mbak Wandes.
   Keesokan harinya  dua orang remaja mungil menuju ruangannya. Namun yang satu menunggu diluar. “Wajahnya yang masih polos dan suaranya yang melengking, membuatku betah berbicara dengannya”. Tiba-tiba semangat wandes merong-rong ingin segera mendengarkan cerita dari gadis manis itu. “Kak boleh minta waktunya sebentar?”. Kami sedang ada masalah”, Tapi kakak jangan katakan apa-apa pada orang tua kami ya !!, “ tentu sayang”, jawab Wandes”. Saya Wina. ”Begini kak, abang saya dituduh menyimpan  obat- obatan terlarang , padahal sedikitpun abang saya tidak tau apa-apa”. Jadi tadi siang wali kelas memberikan surat panggilan pada orang tua kami kak”. Saya bingung harus berbuat apa kak, sedangkan orang tua kami sibuk kerja diluar kota. “Begini saja adik keluar sebentar, panggil abang suruh maasuk juga ya??”. Dia takut kak”. “ katakan padanya didalam cuma disuruh duduk dan minum saja ya?”. Wina merayu abangnya. “Ayolah bang, masuk !!, hanya disuruh meneguk air minum koq, sebentar saja setelah itu kita pulang. “sambil menarik tangan abangnya”. Akhirnya dengan bujukan Wina si abang mau menemui Mbak Wandes”. Oh ini ya abangnya, pasti kalian  haus kan, minumlah dulu ya, dibuka 2 botol aqua untuk abang beradik itu. Setelah mereka menikmati seteguk air, aku mulai membuka cerita, si abang kalau boleh tau siapa namanya?” si abang tertunduk diam”. Nama abang saya Wildan kak’, sambung adiknya dengan ketus”. Jadi gimana kok Wildan bisa dituduh menyimpan narkoba?” pertanyaan halus yang dilemparkan ke Wildan membuatnya tak mau juga angkat bicara”. Kalau Wildan gak mau cerita ntar dimarahi Ibu sama Bapak kalau mereka tahu tentang ini, dan bisa menambah masalah loh,”. “ Dengan wajah lusuhnya karena baru pulang dari sekolah, Wildan  menceritakan intinya saja. Dan menunjukan surat panggilan orang tua dari sekolahnya. Dari beberapa yang pernah berkonsultasi denganku, mungkin masalah inilah yang termasuk kategori sulit kupecahkan. Tapi aku mencoba menampung  semua ocehan  dan aspirasi mereka. Menerapkan teori Humanistik, dimana kita memanusiakan manusia sebagaimana kodratnya. Membimbing dan memberikan pemahaman hakikat makna dari pengalaman belajar mereka. “ Setelah mereka selesai bicara, aku pun mulai menganalisis masalah tersebut. Aku mengerti betapa takutnya mereka jika orang tua mereka tahu hal ini. Apalagi umur mereka yang baru beranjak remaja dan  masih duduk dibangku  SMP kelas III. Akhirnya aku memutuskan untuk menjadi pengganti wali mereka. Saya datang ke sekolah bersama Wildan dan Wina, menjumpai wali kelasnya. Awalnya mereka tak percaya aku ini wali dari Wildan karena tampilanku yang sdikit memukau. Aku mengaku aku ini tante Wildan dan orang tuanya tidak bisa hadir karena masih diluar kota. Saya dipersilahkan duduk. Mulailah sang wali kelas memberikan penjelasan. ‘sebenarnya saya juga tidak menyangka kenapa ini bisa terjadi pada Wildan ??”, yang saya ketahui Wildan anak yang rajin dan tidak banyak tingkah, tapi bukti mengatakan obat itu ada didalam tas Wildan. Setelah dilakukan pemeriksaan obat itu memang kategori obat-obatan terlarang. “ Buk saya mengerti bagaimana perasaan Ibu sebagai wali kelasnya, pasti rasa malu sudah menebal di wajah Ibu”. Tapi Ibu harus juga mengerti persaan Wildan, dia tidak tau apa-apa masalah ini, dia hanya korban Buq,” terang Wandes membela”. Untung kepala sekolah belum mengetahui ini, bisa berabe dan mau tidak mau bisa jadi, Wildan dikeluarkan dari sekolah dengan cara tidak hormat. “ Ya sudah kita sama-sama saling menolong saja, kita periksakan Wildan kerumah sakit, apakah memang badannya sudah terdeteksi oleh obat-obatan terlarang atau tidak ??, Bu Warni selaku wali kelas menyetujui saran Wandes, mereka pergi menuju rumah sakit.” Disepanjang jalan Wildan terus memegang tangan Wandes erat-erat sampai tiba dirumah sakit. Bagimana orangtua wildan jika tau hal ini tidakkah mereka menyesal karena tak memperhatikan anak-anaknya dirumah, malah sibuk kerja diluar kota, “ batin Wandes dalam hatinya”. “ Bu, Bu, Bu, saya takut ??” rintih Wildan”. “ Wildan tidak usah takut ya , dokternya gak galak koq ya”. Setelah hampir satu jam menunggu  kemudian dokter memberi tahu hasilnya. Wildan sehat dan tidak pernah mengkonsumsi obat tersebut. “ tenanglah hati Wildan, Wandes, dan Bu Warni”.  Kesimpulannya pasti ada yang sengaja menaruh obat itu ke dalam tas Wildan” terang Wandes pada Bu Warni  sedikit menduga”. “Ya, kemungkinan begitu,’ kira-kira siapa teman  di kelas Wildan yang suka jahil ??, ‘ astagfirullah “ Bu Warni tiba-tiba berucap dengan suara keras”, saya baru teringat masih ada bukti kuat didalam kelas itu ?’ bukti apa Buk ? “ Tanya Wandes penasaran “. Masih ada sisi TV yang dapat kita lihat ‘. Aku pun kembali ke sekolah untuk melihat tayangan ulang”. Wandes sedikit tergesa-gesa, tak sabar ingin melihat kebenaran itu. Tak terlintas lagi dipikirannya untuk menyempatkan makan sejenak, atau istirahat sebentar. Padahal Wandes memiliki sakit mag, itupun tak dihiraukannya . Jika kelar satu masalah ini, rasanya  sudah cukup untuk mengganti rasa laparku. Apalagi melihat Wildan tersenyum, wah rasanya aku bisa bernafas lega”. Jiwa sosialnya pun sudah mulai melekat kuat. Sifat kemanusiaan mulai tumbuh berkembang bak bunga yang baru mekar. Setelah melihat tayangan itu. Tiba-tiba Wildan langsung memelukku, berterima kasih padaku, seolah Wildan tak pernah merasakan perhatian dari orang tuanya. Sedih aku melihatnya. Ternyata temannya sendiri yang memasukan obat itu ke dalam tas Wildan.  Bu Warni pun segera menyelesaikan kasus tersebut.
Hari itu menjadi pelajaran yang sangat berharaga bagi Wandes. Sampai di kost Wandes langsung istirahat dan merebahkan badannya. Tiga hari lagi masa training itu akan segera berakhir. Betapa senangnya hatiku”. Saat mataku mulai terpejam, hand phoneku berbunyi. Sebuah sms masuk, “ dari siapa gerangan ?? ”hatiku berdebar”. Ternyata dari bosku. Hemm,,, besok ia menyuruhku menemuinya pagi hari’.” Begitu perintahnya”.
Melatih pikiran agar tetap berpikir positif, setelah aku menemui bosku, ternyata aku diberi job tambahan. Waktunya memang mendadak, sebenarnya saya yang harus menangani pasien tersebut, “ tuturnya”. Tapi karena saya berhubung ada acara keluarga’ kamu saya pilih untuk menggantikannya. Lusa pemuda itu akan datang untuk menceritakan masalahnya. “Jadi saya harap kamu dapat mengatasinya dengan baik ‘ pesan bosnya sebelum mengakhiri pembicaraan”. Berat rasanya hati Wandes menerimanya. Karena sesuai rencana selesai training aku akan pulang kerumah berbagi tawa dengan keluarga. Kini aku hanya melepas rindu melalui telp lagi. Alhamdulilah mereka sehat dan ayahku bilang penyakit adikku sudah banyak berkurang” suara dan kabar bahagia itu membuatku jauh lebih tenang dari  sebelumya.
Jadwal kali ini aku menunggu pemuda itu diruanganku. Entah siapa, dari mana, dan persoalan tentang apa, sedikitpun bosku tidak memberi tahu identitas pemuda itu’. Waktu sudah menunjukan pukul 11.00 wib, tapi pemuda itu tak kunjung datang. Aku membalikan badanku melihat suasana luar dari kaca ruanganku. Tak lama terdengar suara ketukan pintu. ‘Masuk saja ‘ perintahku!!’. Pemuda berdasi itu masuk. Wandes memutar badannya dan menatap wajah sang pemuda itu. Tampilannya yang begitu rapi dan wibawa , rasanya lelaki ini tak memiliki masalah yang serius!’’, pradugaku timbul”. Pemuda itu duduk dan kami saling bersalaman, ‘Saya Marvel’, ya saya Wandes’. Sepertinya aku tidak asing dengan nama ini, ” batin Wandes’. Hemm, tapi itu masa laluku. Aku tak ingin mengingatnya kembali. ” Ya sudah , sekarang Pak Marvel boleh memulai cerita, semoga saya bisa membantu’. Baiklah, “Mungkin sepintas aku kelihatan seperti karyawan kantor yang mapan dan memiliki skill. “Dibalik kepiawaanku ini, aku sesungguhnya manusia yang menyimpan banyak masalah. Dulu kesuksesanku pernah memuncak sampai aku diangkat menjadi asisten direktur, tapi sayang orang disekitarku tak menghendakiku. Dengan kehadiranku di jabatan yang baru mereka merasa terganggu. Akhirnya mereka menjebakku. Mereka menjatuhkanku ke jurang derita bahkan  membuatku sengsara”. Saat aku benar-benar kalut telah bersahabat dengan narkoba, hampir saja aku  menghilangkan nyawa orang, konsentrasiku hilang seketika akibat efek narkoba yang telah menggerogoti tubuhku. Itu terjadi lima tahun yang lalu. Saat itu  aku dimasukkan ke tempat rehabilitas untuk menjalani pengobatan. Aku hampir gila, hidupku tak berdaya. Namun setelah beberapa bulan kemudian aku mendapat petunjukNya dan  sembuh sehat seperti sekarang ini.
Masalahnya sampai sekarang banyak orang tidak mempercayai kesembuhanku’. Berulang kali ku jelaskan tapi mereka tidak percaya, belum lagi orang tuaku yang masih meragukan kesembuhanku sampai terkadang mereka tega mengunciku dikamar agar tidak dapat keluar dan selalu mendapat pengawasan.”  Masalah yang tak kalah pentingnya aku masih terus dihantui rasa takut dan terbayang-bayang dosa lima tahun yang lalu”. Menabrak anak kecil”. Dan dosa itu terus mengusik pikiranku. ‘Aku bingung memikirkan semua itu Mbak???, bingung, sudah buntu rasanya pikiran ini”. Belum lagi Wandes memberikan solusi, ilusinya melayang tertuju ke masa lalu saat SMA dulu. Wandes semakin penasaran’. Benarkah ini Marvelku yang dulu, Marvel yang suka menjahiliku. Marvel yang senang merebut jajan Barbienya. Karena dulu saat SMA aku dipanggil Barbie. Menurutnya aku kelihatan imut jika dilihat olehnya. Yang lebih mengejutkan lagi, “Saat pemuda itu mengangkat tangannya terlihat dibagian siku kiri  ada bekas luka yang menonjol”. “ Jantungku semakin berdetak kencang , darahku berdesir cepat’.” Luka itu masih sama dengan luka Marvel semasa SMA dulu. “Tuhan!!”, Dialah Marvelku .  Begitu tampan dia  sekarang,  memiliki karismatik ’. Subhanallah!’ beberapa saat lamanya aku termangu dalam lamunan palsu. “Tapi tetap berkonsentrasi. Gemuruh rindu di dadanya bagai gemuruh ombak laut selatan. Walaupun hubungan kami berakhir tanpa keterangan yang jelas.
Seketika pemuda itu memegang bahunya memecahkan lamunan Wandes. Mata pun terbuka lebar, ia kembali sadar. “ Ada apa Bu ??”Tanya Marvel”. Oh tidak papa, “sudah selesaikan ceritanya?”, ya jadi bagaimana tanggapan Ibu tentang masalah ini?”. “ Bapak harus yakin dan tetap optimis akan kesungguhan Bapak untuk membuktikan jika bapak benar-benar sembuh, kemudian sering-seringlah ngobrol dengan  orang tua dirumah, itu bisa membuat mereka semakin percaya. ‘yakinlah pak”, ” Cara bicara Wandes begitu diperhatikan Marvel dan rasanya Marvel teringat akan sesuatu”. Sampai di batas waktu “ Tiba-tiba Marvel berucap “Barbie”, kamu Barbie”dalam hatinya”. Kau suka mengatakan “yakin” sambil menjulurkan telunjuk kananmu,” itu yang masih ku ingat dari Barbie imutku dulu”. Marvel semakin yakin ketika melihat nama aslinya tertulis ‘ Wandesta Anggara. Ya benar, dialah  Barbieku dulu di SMA??”. “Suasana semakin tegang, api asmara mulai membara. Lamunan itu pindah ke hati Marvel. “Masih  ingatkah  dulu teman yang suka merebut jajanmu, menjahilimu, ‘itulah aku Marvel”. Tapi  semua itu tak berani diungkapkan langsung di depan Wandes, mungkin waktunya belum tepat ‘pikirnya”.
Dan satu masalah lagi solusinya adalah Bapak harus bisa menemui gadis kecil yang malang itu meminta ma’af padanya. Sedikit curiga Wandes pun melempar pertanyaan lagi “ bisa Bapak ceritakan ciri-ciri gadis tersebut?”, yang saya ingat gadis itu memiliki rambut panjang, dan memakai topi bewarna pink, dan…..belum lagi Marvel selesai bicara,’’stop hentikan bicaramu !!!. Mata Wandes menatap tajam, tangannya mengepal, wajahnya memerah  dan emosinya meninggi”. ‘Ciri itu sama persis dengan keadaan adiknya lima tahun silam, saat itu adiknya memakai topi pink dan rambutnya masih panjang. “park !park!” tamparanku pun melayang ke pipinya. “Aku semakin kasar padanya”, aku yang selama ini mencari siapa yang telah menabrak dan membuat adikku mengalami trauma berat seperti itu. Ternyata orang itu ada dihadapanku.’ Tak sudi aku melihatmu lagi “ pergilah keluar dari ruanganku”. Kaulah manusia tak punya hati” kau bajingan’ pergilah !!” kau yang telah membuat adikku tarauma”. Wandes hilang kendali ia begitu sangat marah. “ Marvel yang masih bungkam menjadi lebih bingung dengan semua ini” ia semkin tertekan.  Wandes menelpon satpam dan menyuruh  mengeluarkan Marvel dengan cara paksa”. “ Saat itu juga Marvel mengucapkan “Barbie!!, Barbie !! tunggu pembicaraan kita belum selesai “.
 Tapi sedikitpun tak direspon  baik oleh Wandes”. Benar-benar gila aku dibuatnya. Rasanya masih tak dapat ku percaya, ia teman dekatku dan dialah tersangka adik kandungku sendiri’. Pantaskah aku marah?, pantaskah aku bahagia ? bertemu pangeran kecilku dulu? Ataukah aku harus diam saja!!!” Sambil menyandarkan kepalanya di dinding, kemudian Wandes mengeluarkan air mata. ” Tuhan !! inilah  masalah yang membuatku lemah tak berdaya. ”Dimana aku harus melihat Marvel temanku dulu menjadi penyebab trauma adikku. Ternyata inilah masalah yang paling berat sepanjang aku berada disini. Beberapa hari Wandes hanya mengurung diri dikamar, seolah tak perduli dengan apa yang terjadi di luar sana”. Hand phonnya terus berbunyi, sebuah panggilan dari pasien pertamanaya  Rani dan Wildan. Semua diabaikan begitu saja. Jangankan orang lain Rindi  teman satu kostnya hanya bisa duduk bersebelah saja, tanpa mau Wandes untuk bercerita.  Rindi sendiri merasakan imbasnya. Emosi Wandes terus dilampiaskan pada Rindi. Rindi kerap kali dijadikan kambing hitam masalah ini. Semenjak itu Wandes sering marah-marah bahkan membentakku. Aku sendiri jadi serba salah. Yang lebih fatalnya Ia hampir melukaiku. Untungnya  aku bisa membelah diri. Seperti tidak memiliki rasa kemanusiaan. Padahal sama-sama perempuan. Aku membiarkannya tenang dikamar dan menguncinya. Sampai keadaanya benar-benar pulih.
Dua bulan kemudian dengan tiba-tiba Marvel berkunjung ke rumah Wandes, ia memohon ma’af atas kehilafannya selama ini. Termasuk pada adiknya. Dia mengakui bahwa dialah yang menabrak dek Hanny lima tahun yang lalu. “ Hanny yang kaget melihatnya, “orang yang menabrakku, sekarang ada dihadapanku”. Anehnya semenjak Marvel meminta ma’af, kebiasaan Hanny tidur larut malam hilang. Mungkin itu pertanda jika kata ma’af dapat menyembuhkannya. Wandes yang saat itu kalut dan bersikap tidak manusiawi pada Marvel merasa bersalah. Namun terlanjur Marvel lebih dulu mengulurkan tangan meminta ma’af pada Barbienya. Memory lama pun lahir kembali, ketika mereka bercerita masa SMA dulu. Namun Hukum tetap berjalan, Marvel akhirnya ditahan di sel. Wandes yang ikut kesana ditemani Rindi sahabatnya, Merasa sedih tapi harus bisa mengikhlaskan.
Walau telah jatuh dari masa lalu, manusia harus memiliki jiwa kemanusiaan, mengakui kesalahan walau berujung pada sebuah hukuman. kita harus tahu bahwa setiap kesulitan ada kemudahan dan setiap kemudahan ada kesulitan. Setiap kesusahan, setiap kegagalan, setiap kecacatan, setiap keadaan dan pengalaman yang tidak menyenangkan, memiliki faedah yang sepadan, dan sering kali dalam bentuk yang tersembunyi.
Tak ada seorang yang melayari samudra kehidupan ini tanpa benturan rintangan dan menderita bermcam-macam kemunduran. Semua manusia merasakan lika-liku itu hanya saja kita dituntut untuk memutuskan rintangan dan benturan itu sebagai pagar rintangan yang bisa diatasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.