Kenapa Haru, Harus Minggu…!
Oleh : Uswatun Hasanah
Bisu aku memandang langit yang tak menampakka cerahnya. Saat itu langit kelihatan mendung dan begitu tak bergairah. Sama seperti hatiku. Aku merasa seperti makhluk tak diangap. Pasalnya aku hanya hidup berdua dengan ibuku. Hari-hariku sepi dan tak ada perubahan. Tiap hari mencari kayu di hutan untuk dijual.
Ayahku sudah lama meninggal sejak aku berumur 13 tahun. Karenanya, tanggung jawab mencari nafkah pun beralih ketangan Ibuku. Kini kerutan diwajah Ibuku sudah mulai bertambah, itu pertanda Ibuku telah memasuki usia tua. Tapi aku tetap bersyukur karena Aku dan Ibuku selalu diberi kesehatan dan kekuatan dalam bekerja. Dan aku selalu berharap kami mendapat pekerjaan yang lebih baik dari sebelumnya.
“Ibu, tadi malam aku bermimpi,
“mimipi apa nak? “Tanya Ibu,
“Uma bermimpi kalau Ibu menjadi Asisten Kebun di Desa ini”.
‘Hemmm,,, ngaco amat mimpimu nak”.
“Serius Bu, Ibu harus percaya dengan mimpi saya, “desak Uma membela”.
“Habisnya mimpi kamu tu konyol, mana mungkin umur setua Ibu bisa jadi Asisten Kebun”, bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari saja, uda hal yang luar biasa bagi Ibu.
“ Jadi Ibu tak percaya dengan kehendak sang kuasa? “Tanya nya lagi dengan ketus”.
“ Ya, Ibu percaya, semua Dia yang mengatur”.
“Iya Bu, Uma berharap suatu saat nanti Allah mengabulkan do’a-do’a Uma”.
“Amin, makannya Uma harus banyak beribadah” jawab Ibu menasehati”.
Harapan itu tak kan pupus. Aku akan selalu memanjatkan do’a kepadaNya. Apa lagi ketka aku harus dihadapkan oleh teman-teman sebayaku yang bisa melanjukan ke sekolah SMA, sedangkan aku sendiri harus berhenti setelah tamat smp untuk membantu ibuku mencari kayu. Kini umurku sudah 15 tahun. Sedihku terkadang melanda, hasrat hati ingin sekolah , namun keadaan berkata lain. Untungnya ibu tak pernah bosan menyemangatiku, itulah yang menjadi kekuatan untukku.
***
Suatu hari aku disuruh ibu membeli gula dan the di pasar. Karena stock kami sudah habis. Suasana yang ramai membuat orang saling berdesakan.
“Bu, beli gulanya satu kg ”
“ Sebentar ya nak, Ibu ini dulu ya”.
“Ya Bu, jawab Uma”.
Berulang kali Aku sudah berucap namun tak dilayani juga, badan sudah berkeringat dan banyaknya pembeli membuat udara semakin pengap. Akhirnya Aku keluar.
Geram aku melihatnya, sudah hampir setengah jam aku menunggu antrian, tapi tak juga dilayani. Aku memutuskan untuk membeli ke toko yang jauh dari rumahku. Maklumlah di desa kami toko-toko grosir seperti itu baru sedikit sekali. Lain jika beli di kedai sampah mereka mengambil untung yang banyak, jadi Ibuku merasa dirugikan.
Akhirnya aku melanjutkan perjalanan kembali ke toko “Semua Ada”. Saat dalam perjalanan aku melihat seekor kucing yang ingin menyebrang, tapi kucing itu tak tau ada mobil di belakangnya. Akhirnya aku berlari cepat untuk menyelamatkan kucing itu.
Tiba-tiba “Bruuk, bukan kucing itu yang terluka, tapi tangan kiriku.
“ Ya, ampun !!, tidak pa-pa kamu nak? ”Tanya pemilik mobil itu”
“Tidak pak, saya tidak papa. “tapi tangan kamu terluka”. Tapi hanya luka kecil, “jawabku”.
“Asalkan kucing itu tidak terluka itu tak masalah bagi saya”.
“ Sunggh mulianya hatimu nak, dimana rumahmu biar bapak antar”.
Akhirnya Aku tak dapat menolak permintaan bapak tersebut. Aku diantar sampai rumah. Kebetulan Bapak itu adalah kepala toko grosir “Semua Ada”. Pak Edo merasa kagum atas sikap dek Uma, sehingga pak Edo mengajak Uma dan Ibunya agar mau bekerja ditokonya.
“ Bapak serius, ingin mengajak kami?? “Tanyaku tak yakin”.
“Ya, Saya serius!”.
“Karena kami memang lagi membutuhkannya”.
“Terima kasih pak, terima kasih banyak”. “ tuturku yang kegirangan”
“ Benarkan Ibu tak layak menjadi Asisten Kebun?? “tanyanya pada Uma”
“ Ha,,ha,,,ha,, Ibu ni ada-ada saja”. “Bukan Asisten Kebun seperti yang ada di mimpi Uma, tapi Asisten pak Edo”, jawab Uma sedikit menggurui Ibunya”.
***
Satu bulan sudah berjalan. Mereka begitu semangat bekerja di toko pak Edo. Pak Edo juga sering memberi mereka bonus karena kerja mereka yang selalu melayani pembeli dengan baik. Kini Aku juga dapat melanjutkan sekolaa lagi, seperti teman-teman sebayaku.
***
Setelah resmi menjadi murid baru aku juga mendapatkan teman baru. Bulan Desember ini kami dipeributkan dengan adanya hari Ibu tanggal 22 Desember. Banyak dari kami saling tukar pendapat untuk memberi kado buat Ibu. Termasuk aku. Aku bingung ingin memberi kado apa buat Ibu. Saat itu hari Ibu jatuh pada hari minggu. Kebetulan sekali Ibu libur kerja.
Aku berncana membeli sepasang baju muslim untuk Ibu. Dari dulu Ibu ingin membeli baju itu tapi belum kesampaian. Kali ini aku harus diam-diam membelinya. Agar Ibu senang mendapatkan survice dariku nanti.
***
Tibalah saat-saat yang dinantikan, aku membungkus kado itu dengan sangat rapi, dan menggoreskan tinta hitam diatasnya “Selamat hari Ibu, semoga Ibu selalu bahagia untuk selamnya, I love u Mam”.
Namun Tuhan berkata lain. Setelah selesai shalat subuh, Ibu tak keluar-keluar dari kamar. Biasanya Ibu langsung menuju dapur. Kali ini sampai pukul 8 pagi Ibu tak keluar juga. Aku menghampirinya. Terlihat Ibu masih memejamkan matanya. “Bu, Bu, Bu. Tiga kali aku memanggilnya, namun tak ada jawaban. Hatiku semakin cemas. Aku menggoyang-goyangkan badannya tapi Ibu dima saja. Aku menangis histeris melihat kepergian Ibu yang begitu singkat. Belum sempat aku memberikan kado itu, Ibu sudah tiada. Berjuta rasa berkecamuk dihatiku. Walau jeritanku membelah bumi, perpisahan ini harus terjadi, tak dapat kuhalangi.
“Tuhan rencana apa yang kau berikan untukku??, sampai Kau ambil nyawa ibuku”.
“Semua seperti mimpi, disaat minggu indah “Di dua puluh dua Desember ini”.
“Ibu,,
“Kenapa haru, harus minggu” rintihku”.
***