Selasa, 28 Februari 2012

Kesetiaan menanti


Goresan pena : Uswatun Hasanah

Saatku pejamkan mata
Bayangmu kembali datang
Ku coba tuk menepiskan rasa
Yang ada malah kerinduan

Kegelisahan hati yang tak kunjung usai
Membuat diri ini jadi tak karuan
Mencoba tenang dan tetap bertahan
Tapi yang datang malah kepedihan

Kepedihan yang berujung pada penantian
Walau tak tau harus sampai kapan
Mungkinkah sampai tiba masa tuaku
Bahkan sampai tutup usiaku
Aku juga tak tahu

Kau yang selalu membuatku rindu
Pada tingkah dan kasihmu
Akankah kau mengerti isi hatiku
Hanya waktu yang mampu
Mempertemukan kita kembali
Melampiaskan penantian ini

Senin, 27 Februari 2012

Jatuh Dari Masa Lalu
Oleh : Uswatun Hasanah
“ Wandes !!, Wandes !!, kemarilah sebentar !, seru Rindi teman satu kostnya. “Ada pa si Rin ??? “Tanya Wandes “ Ayo kemarilah aku ingin menunjukan sesuatu padamu “. Apa itu??” Tanya Wandes penasaran “. Ternyata Rindi menunjukan selembar kertas hasil study kemarin, pada Wandes.” Selamat ya  IP kamu bagus tahun ini“, jawab Wandes sambil tersenyum manis”. “Tingkatkanlah terus prestasimu kawan “, buat bahagia orang tuamu”. Walau terkadang biaya hidup kita disini sering tersendat “. “Iya aku juga akan memberikan yang terbaik buat mereka’, jawab Rindi penuh semangat’. “Aku sendiri ingin sekali mencari kerja, membantu mereka “ keluh Wandes”. Curhatan itu pun berakhir setelah waktu menunjukan pukul 22.00 wib.
Rindi adalah teman satu kost Wandes. Mereka hidup jauh dari orang tua demi meneruskan pendidikannya di perguruan tinggi. Namun demikian Rindi tidak satu jurusan dengan Wandes. Ia mengambil Sastra Inggris, sedangkan Wandes mengambil jurusan Psikolog. Secara umum realitanya sudah menjamur, banyak orang tak mampu mengolah pemikirannya sehingga berujung stres. Bahkan stres tidak hanya menyerang pada orang dewasa, pekerja kantor, para pejabat, tetapi menyerang siapa saja yang tak pandai mengolah pikirannya dengan sebaik mungkin.
Tanpa melakukan observasi alasan-alasan yang didasari realita itulah yang mendorongku kuat untuk masuk keperguruan tinggi mengambil jurusan “psikolog”. Jurusan yang menyimpan segudang cerita, masalah dan aplikasi penyelesaiannya. Jika tidak memiliki mental yang kuat mungkin lebih baik mundur secepatnya. Tapi berbeda denganku semua resiko sudah ku pertimbangkan, mengatasi masalah orang lain walau terkadang masalah kita sendiri belum dapat terselesaikan, bagiku tak masalah. Toh menjadi seorang psikolog itu akan dapat melatih pola pikir kita menjadi lebih elastis dan sistematis.
Jika disinggung tentang keadaan keluargaku. Aku hanya seorang anak  karyawan pabrik dan Ibuku hanya seorang penjahit kecil-kecilan. Tapi Ayahku orangnya keras apalagi jika marah, semua bisa berubah seratus delapan puluh derajat. Ayah akan tidak suka jika tidak sesuai dengan kehendak hatinya. Jika sekali tidak suka dengan seseorang maka seterusnya tidak akan disukainya. Pernah dulu Ibu dipukul Ayah karena lupa memasak nasi, Ayah pun terbawa emosi karena kelelahan sepulang kerja. Tapi dibalik sifatnya yang keras, Ayah selalu baik dengan siapapun, ramah dan tidak sombong. Sementara Adikku satu-satunya masih duduk dibangku SD. Hanny namanya. Syukur sekarang keadaanya sudah mendingan. Dulu ia pernah mengalami trauma besar saat berumur 7 tahun. Ia pernah ditabrak mobil dan terpental ke sawah-sawah yang tidak jauh dari rumah kami. Entah siapa pelakunya sampai sekarang belum dapat ditemukan polisi. Hal itu menyebabkan Hanny sedikit sensitif apalagi jika mendengar suara klacson maka ia langsung bersembunyi, menjauhi suara itu. Dan sekarang umurnya 10 tahun. Satu hal yang belum kembali seperti biasa Hanny selalu tidur malam. Ia tidak bisa tidur cepat seperti orang pada umumnya. Ia akan tidur jika jarum jam menunjukan pukul 00.00 wib. Entah apa penyebabnya sejak kecelakaan itu sesekali Hanny dihantui rasa takut dan badannya sering panas. Mungkin alasan itu juga yang mendorongku masuk dunia psikolog. Aku ingin sekali membuang rasa takut adikku dan mengembalikannya lagi seperti yang dulu. Karena jika ketakutan itu melanda, adikku tak mau makan sampai berhari-hari. Itulah yang paling kami takutkan. Kami selalu berdo’a agar semakin membaik. Kesimpulannya adikku masih butuh pengawasan. Walaupun sudah pernah menjalani terapi dari dokter.
Aku yang biasa disapa Wandes mencoba menjajaki dunia baru, langkah baru yang akan memberikan banyak pelajaran buatku. Belajar dari sebuah pengalaman yang ada. Yakin dan percaya, itu saja pikirku kunci menyemangati hidup ini.
Pelan-pelan aku mulai mempelajari banyak ilmu tentang hakikat manusia sampai pada perkembangan pola pikirnya. Ternyata tak mudah memecahkan sesuatu hal kecil jika kita tidak mengetahuinya secara detail penyebab timbulnya permasalahan itu. Tugas kuliah yang mulai menumpuk. Membuaatku semakin jarang pulang kerumah karena  harus diselesaikan sebelum semester tiba. Aku khawatir dengan keadaan keluarga dirumah. Satu bulan sekali aku pulang kerumah berat sekali buatku dan terkadang kepulanganku membuat risau Ibuku walau ditutupi dengan senyum riangnya. Aku tahu apa yang terlintas dipikiran Ibuku. Selain melepas rindu terhadap keluargaku. Jika aku pulang kerap kali  Ibu selalu memberikan uang kost, makan dan kebutuhanku yang lain. “Dalam hati ingin sekali aku bisa membantu biaya kuliahku sendiri.” Semoga saja bisa Tuhan “. Begitu besar harapan Ibuku dengan hasil akhir perkuliahanku nanti. Padahal masih 1 tahun lagi aku harus berhadapan dengan dosen dan dunia kampusku. Walau sesekali Ibu pernah menyindir tentang  asmaraku. Tapi aku tak menghiraukannya. Mungkin jika dihitung, wanita seumuranku ini sudah pantas untuk menikah, bahkan teman-teman SMA ku dulu sudah banyak yang melepas masa lajangnya. Namun aku tetap fokus pada tujuan awal.
Sebulan kemudian Rindi teman Wandes mendapat kabar bahwa dibutuhkan segera wanita  untuk menangani pasien yang bermasalah di sebuah lembaga sosial  selama 1 bulan jika baik maka akan di uji agar dapat langsung bekerja di lembaga tersebut. Tempat juga yang  jauh dari kostannya. Dengan syarat memiliki jasmani yang sehat. Rindi mencoba menawarkan pada Wandes, karena kebetulan sesuai dengan jurusan Wandes. “Ndes, aku mendapat info siang tadi dari temanku, bahwa dicari wanita yang mampu melayani pasien di lembaga sosial, kamu mau ?” tanya Rindi”, boleh jugatuh, tapi ntarla ku pertimbangkan dulu Rin, aku juga gag mau kuliahku terbengkalai “. “Ya sudah, jika kamu mau hubungi saja nomor ini ya” Sambung Rindi sambil memberikan nomor itu diatas  lembaran kertas putih”.
Malam yang sunyi tanpa kehadiran sang bulan, hanya terdengar keramaian suara nyamuk yang saling beradu mencari mangsa. Malam itu aku masih belum dapat tertidur padahal waktu sudah menunjukan pukul 22.00 wib. Pikiranku masih tertuju pada selembar kertas putih pemberian Rindi tadi siang. Pikiranku terbelah ilusiku melayang apa yang harus kuputuskan. Terlepas dari berbagai kekurangan dan kemampuanku tindakan adalah jalan keluarnya. “Kapan aku bisa tau jika aku tak mau mencobanya”. Untungnya mata kuliah semester V ini tidak terlalu banyak hanya tiga hari saja, sehingga aku bisa ambil kelas malam. Kerja pun tak terganggu. Sebelum semua diputuskan Wandes tidak lupa meminta izin dengan orang tuanya. Syukur mereka mengizinkannya.
Matahari yang menampakkan cahayanya. Cerah dan besinar seolah menjadi saksi    dalam mengawali aktivitas Wandes. Siang itu pasien pertamanya datang masuk ruangannya. “Silakan duduk Mbak”, apa yang bisa Saya bantu ?” Tanya Wandes”. Tiba-tiba ketika ingin memulai cerita gadis itu menangis. ” Wandes pun memberinya sapu tangan “. “ Saya sedih Mbak Wandes, saya akan ditinggal menikah oleh tunangan saya ” sambil terbata-bata”. Apa penyebabnya Mbak ?? ”Tanya Wandes kembali”. “ Saya tidak tau pasti Mbak, yang pasti dia terpaksa menikahi wanita lain karena ingin menyelamatkan keluarganya’. “ Saya yakin Dia hanya mencintaiku Rani sebagai cinta pertamanya. “ percayalah Mbak jika Dia jodoh Mbak Rani, pasti tunangan Mbak akan kembali ke pelukan Mbak’. Kita hanya bisa berikhtiar, beri waktu pada tunangan Mbak untuk memikirkan semua ini, kasi Dia support agar ia bisa memutuskan dengan bijak”. Semua belum terlambat akad belum terucap bahkan resepsi belum diselenggarakan”. Yakin dan berdo’alah semoga dia memang jodohnya Mbak Rani”. “Wandes mendekati Rani dan mengelus punggungnya mencoba menenangkan hati dan perasaannya yang sedang galau”. Cerita itupun berakhir ketika beban Rani sedikit berkurang. Sebelum pulang Rani menyempatkan diri untuk menyimpan nomor Mbak Wandes.
   Keesokan harinya  dua orang remaja mungil menuju ruangannya. Namun yang satu menunggu diluar. “Wajahnya yang masih polos dan suaranya yang melengking, membuatku betah berbicara dengannya”. Tiba-tiba semangat wandes merong-rong ingin segera mendengarkan cerita dari gadis manis itu. “Kak boleh minta waktunya sebentar?”. Kami sedang ada masalah”, Tapi kakak jangan katakan apa-apa pada orang tua kami ya !!, “ tentu sayang”, jawab Wandes”. Saya Wina. ”Begini kak, abang saya dituduh menyimpan  obat- obatan terlarang , padahal sedikitpun abang saya tidak tau apa-apa”. Jadi tadi siang wali kelas memberikan surat panggilan pada orang tua kami kak”. Saya bingung harus berbuat apa kak, sedangkan orang tua kami sibuk kerja diluar kota. “Begini saja adik keluar sebentar, panggil abang suruh maasuk juga ya??”. Dia takut kak”. “ katakan padanya didalam cuma disuruh duduk dan minum saja ya?”. Wina merayu abangnya. “Ayolah bang, masuk !!, hanya disuruh meneguk air minum koq, sebentar saja setelah itu kita pulang. “sambil menarik tangan abangnya”. Akhirnya dengan bujukan Wina si abang mau menemui Mbak Wandes”. Oh ini ya abangnya, pasti kalian  haus kan, minumlah dulu ya, dibuka 2 botol aqua untuk abang beradik itu. Setelah mereka menikmati seteguk air, aku mulai membuka cerita, si abang kalau boleh tau siapa namanya?” si abang tertunduk diam”. Nama abang saya Wildan kak’, sambung adiknya dengan ketus”. Jadi gimana kok Wildan bisa dituduh menyimpan narkoba?” pertanyaan halus yang dilemparkan ke Wildan membuatnya tak mau juga angkat bicara”. Kalau Wildan gak mau cerita ntar dimarahi Ibu sama Bapak kalau mereka tahu tentang ini, dan bisa menambah masalah loh,”. “ Dengan wajah lusuhnya karena baru pulang dari sekolah, Wildan  menceritakan intinya saja. Dan menunjukan surat panggilan orang tua dari sekolahnya. Dari beberapa yang pernah berkonsultasi denganku, mungkin masalah inilah yang termasuk kategori sulit kupecahkan. Tapi aku mencoba menampung  semua ocehan  dan aspirasi mereka. Menerapkan teori Humanistik, dimana kita memanusiakan manusia sebagaimana kodratnya. Membimbing dan memberikan pemahaman hakikat makna dari pengalaman belajar mereka. “ Setelah mereka selesai bicara, aku pun mulai menganalisis masalah tersebut. Aku mengerti betapa takutnya mereka jika orang tua mereka tahu hal ini. Apalagi umur mereka yang baru beranjak remaja dan  masih duduk dibangku  SMP kelas III. Akhirnya aku memutuskan untuk menjadi pengganti wali mereka. Saya datang ke sekolah bersama Wildan dan Wina, menjumpai wali kelasnya. Awalnya mereka tak percaya aku ini wali dari Wildan karena tampilanku yang sdikit memukau. Aku mengaku aku ini tante Wildan dan orang tuanya tidak bisa hadir karena masih diluar kota. Saya dipersilahkan duduk. Mulailah sang wali kelas memberikan penjelasan. ‘sebenarnya saya juga tidak menyangka kenapa ini bisa terjadi pada Wildan ??”, yang saya ketahui Wildan anak yang rajin dan tidak banyak tingkah, tapi bukti mengatakan obat itu ada didalam tas Wildan. Setelah dilakukan pemeriksaan obat itu memang kategori obat-obatan terlarang. “ Buk saya mengerti bagaimana perasaan Ibu sebagai wali kelasnya, pasti rasa malu sudah menebal di wajah Ibu”. Tapi Ibu harus juga mengerti persaan Wildan, dia tidak tau apa-apa masalah ini, dia hanya korban Buq,” terang Wandes membela”. Untung kepala sekolah belum mengetahui ini, bisa berabe dan mau tidak mau bisa jadi, Wildan dikeluarkan dari sekolah dengan cara tidak hormat. “ Ya sudah kita sama-sama saling menolong saja, kita periksakan Wildan kerumah sakit, apakah memang badannya sudah terdeteksi oleh obat-obatan terlarang atau tidak ??, Bu Warni selaku wali kelas menyetujui saran Wandes, mereka pergi menuju rumah sakit.” Disepanjang jalan Wildan terus memegang tangan Wandes erat-erat sampai tiba dirumah sakit. Bagimana orangtua wildan jika tau hal ini tidakkah mereka menyesal karena tak memperhatikan anak-anaknya dirumah, malah sibuk kerja diluar kota, “ batin Wandes dalam hatinya”. “ Bu, Bu, Bu, saya takut ??” rintih Wildan”. “ Wildan tidak usah takut ya , dokternya gak galak koq ya”. Setelah hampir satu jam menunggu  kemudian dokter memberi tahu hasilnya. Wildan sehat dan tidak pernah mengkonsumsi obat tersebut. “ tenanglah hati Wildan, Wandes, dan Bu Warni”.  Kesimpulannya pasti ada yang sengaja menaruh obat itu ke dalam tas Wildan” terang Wandes pada Bu Warni  sedikit menduga”. “Ya, kemungkinan begitu,’ kira-kira siapa teman  di kelas Wildan yang suka jahil ??, ‘ astagfirullah “ Bu Warni tiba-tiba berucap dengan suara keras”, saya baru teringat masih ada bukti kuat didalam kelas itu ?’ bukti apa Buk ? “ Tanya Wandes penasaran “. Masih ada sisi TV yang dapat kita lihat ‘. Aku pun kembali ke sekolah untuk melihat tayangan ulang”. Wandes sedikit tergesa-gesa, tak sabar ingin melihat kebenaran itu. Tak terlintas lagi dipikirannya untuk menyempatkan makan sejenak, atau istirahat sebentar. Padahal Wandes memiliki sakit mag, itupun tak dihiraukannya . Jika kelar satu masalah ini, rasanya  sudah cukup untuk mengganti rasa laparku. Apalagi melihat Wildan tersenyum, wah rasanya aku bisa bernafas lega”. Jiwa sosialnya pun sudah mulai melekat kuat. Sifat kemanusiaan mulai tumbuh berkembang bak bunga yang baru mekar. Setelah melihat tayangan itu. Tiba-tiba Wildan langsung memelukku, berterima kasih padaku, seolah Wildan tak pernah merasakan perhatian dari orang tuanya. Sedih aku melihatnya. Ternyata temannya sendiri yang memasukan obat itu ke dalam tas Wildan.  Bu Warni pun segera menyelesaikan kasus tersebut.
Hari itu menjadi pelajaran yang sangat berharaga bagi Wandes. Sampai di kost Wandes langsung istirahat dan merebahkan badannya. Tiga hari lagi masa training itu akan segera berakhir. Betapa senangnya hatiku”. Saat mataku mulai terpejam, hand phoneku berbunyi. Sebuah sms masuk, “ dari siapa gerangan ?? ”hatiku berdebar”. Ternyata dari bosku. Hemm,,, besok ia menyuruhku menemuinya pagi hari’.” Begitu perintahnya”.
Melatih pikiran agar tetap berpikir positif, setelah aku menemui bosku, ternyata aku diberi job tambahan. Waktunya memang mendadak, sebenarnya saya yang harus menangani pasien tersebut, “ tuturnya”. Tapi karena saya berhubung ada acara keluarga’ kamu saya pilih untuk menggantikannya. Lusa pemuda itu akan datang untuk menceritakan masalahnya. “Jadi saya harap kamu dapat mengatasinya dengan baik ‘ pesan bosnya sebelum mengakhiri pembicaraan”. Berat rasanya hati Wandes menerimanya. Karena sesuai rencana selesai training aku akan pulang kerumah berbagi tawa dengan keluarga. Kini aku hanya melepas rindu melalui telp lagi. Alhamdulilah mereka sehat dan ayahku bilang penyakit adikku sudah banyak berkurang” suara dan kabar bahagia itu membuatku jauh lebih tenang dari  sebelumya.
Jadwal kali ini aku menunggu pemuda itu diruanganku. Entah siapa, dari mana, dan persoalan tentang apa, sedikitpun bosku tidak memberi tahu identitas pemuda itu’. Waktu sudah menunjukan pukul 11.00 wib, tapi pemuda itu tak kunjung datang. Aku membalikan badanku melihat suasana luar dari kaca ruanganku. Tak lama terdengar suara ketukan pintu. ‘Masuk saja ‘ perintahku!!’. Pemuda berdasi itu masuk. Wandes memutar badannya dan menatap wajah sang pemuda itu. Tampilannya yang begitu rapi dan wibawa , rasanya lelaki ini tak memiliki masalah yang serius!’’, pradugaku timbul”. Pemuda itu duduk dan kami saling bersalaman, ‘Saya Marvel’, ya saya Wandes’. Sepertinya aku tidak asing dengan nama ini, ” batin Wandes’. Hemm, tapi itu masa laluku. Aku tak ingin mengingatnya kembali. ” Ya sudah , sekarang Pak Marvel boleh memulai cerita, semoga saya bisa membantu’. Baiklah, “Mungkin sepintas aku kelihatan seperti karyawan kantor yang mapan dan memiliki skill. “Dibalik kepiawaanku ini, aku sesungguhnya manusia yang menyimpan banyak masalah. Dulu kesuksesanku pernah memuncak sampai aku diangkat menjadi asisten direktur, tapi sayang orang disekitarku tak menghendakiku. Dengan kehadiranku di jabatan yang baru mereka merasa terganggu. Akhirnya mereka menjebakku. Mereka menjatuhkanku ke jurang derita bahkan  membuatku sengsara”. Saat aku benar-benar kalut telah bersahabat dengan narkoba, hampir saja aku  menghilangkan nyawa orang, konsentrasiku hilang seketika akibat efek narkoba yang telah menggerogoti tubuhku. Itu terjadi lima tahun yang lalu. Saat itu  aku dimasukkan ke tempat rehabilitas untuk menjalani pengobatan. Aku hampir gila, hidupku tak berdaya. Namun setelah beberapa bulan kemudian aku mendapat petunjukNya dan  sembuh sehat seperti sekarang ini.
Masalahnya sampai sekarang banyak orang tidak mempercayai kesembuhanku’. Berulang kali ku jelaskan tapi mereka tidak percaya, belum lagi orang tuaku yang masih meragukan kesembuhanku sampai terkadang mereka tega mengunciku dikamar agar tidak dapat keluar dan selalu mendapat pengawasan.”  Masalah yang tak kalah pentingnya aku masih terus dihantui rasa takut dan terbayang-bayang dosa lima tahun yang lalu”. Menabrak anak kecil”. Dan dosa itu terus mengusik pikiranku. ‘Aku bingung memikirkan semua itu Mbak???, bingung, sudah buntu rasanya pikiran ini”. Belum lagi Wandes memberikan solusi, ilusinya melayang tertuju ke masa lalu saat SMA dulu. Wandes semakin penasaran’. Benarkah ini Marvelku yang dulu, Marvel yang suka menjahiliku. Marvel yang senang merebut jajan Barbienya. Karena dulu saat SMA aku dipanggil Barbie. Menurutnya aku kelihatan imut jika dilihat olehnya. Yang lebih mengejutkan lagi, “Saat pemuda itu mengangkat tangannya terlihat dibagian siku kiri  ada bekas luka yang menonjol”. “ Jantungku semakin berdetak kencang , darahku berdesir cepat’.” Luka itu masih sama dengan luka Marvel semasa SMA dulu. “Tuhan!!”, Dialah Marvelku .  Begitu tampan dia  sekarang,  memiliki karismatik ’. Subhanallah!’ beberapa saat lamanya aku termangu dalam lamunan palsu. “Tapi tetap berkonsentrasi. Gemuruh rindu di dadanya bagai gemuruh ombak laut selatan. Walaupun hubungan kami berakhir tanpa keterangan yang jelas.
Seketika pemuda itu memegang bahunya memecahkan lamunan Wandes. Mata pun terbuka lebar, ia kembali sadar. “ Ada apa Bu ??”Tanya Marvel”. Oh tidak papa, “sudah selesaikan ceritanya?”, ya jadi bagaimana tanggapan Ibu tentang masalah ini?”. “ Bapak harus yakin dan tetap optimis akan kesungguhan Bapak untuk membuktikan jika bapak benar-benar sembuh, kemudian sering-seringlah ngobrol dengan  orang tua dirumah, itu bisa membuat mereka semakin percaya. ‘yakinlah pak”, ” Cara bicara Wandes begitu diperhatikan Marvel dan rasanya Marvel teringat akan sesuatu”. Sampai di batas waktu “ Tiba-tiba Marvel berucap “Barbie”, kamu Barbie”dalam hatinya”. Kau suka mengatakan “yakin” sambil menjulurkan telunjuk kananmu,” itu yang masih ku ingat dari Barbie imutku dulu”. Marvel semakin yakin ketika melihat nama aslinya tertulis ‘ Wandesta Anggara. Ya benar, dialah  Barbieku dulu di SMA??”. “Suasana semakin tegang, api asmara mulai membara. Lamunan itu pindah ke hati Marvel. “Masih  ingatkah  dulu teman yang suka merebut jajanmu, menjahilimu, ‘itulah aku Marvel”. Tapi  semua itu tak berani diungkapkan langsung di depan Wandes, mungkin waktunya belum tepat ‘pikirnya”.
Dan satu masalah lagi solusinya adalah Bapak harus bisa menemui gadis kecil yang malang itu meminta ma’af padanya. Sedikit curiga Wandes pun melempar pertanyaan lagi “ bisa Bapak ceritakan ciri-ciri gadis tersebut?”, yang saya ingat gadis itu memiliki rambut panjang, dan memakai topi bewarna pink, dan…..belum lagi Marvel selesai bicara,’’stop hentikan bicaramu !!!. Mata Wandes menatap tajam, tangannya mengepal, wajahnya memerah  dan emosinya meninggi”. ‘Ciri itu sama persis dengan keadaan adiknya lima tahun silam, saat itu adiknya memakai topi pink dan rambutnya masih panjang. “park !park!” tamparanku pun melayang ke pipinya. “Aku semakin kasar padanya”, aku yang selama ini mencari siapa yang telah menabrak dan membuat adikku mengalami trauma berat seperti itu. Ternyata orang itu ada dihadapanku.’ Tak sudi aku melihatmu lagi “ pergilah keluar dari ruanganku”. Kaulah manusia tak punya hati” kau bajingan’ pergilah !!” kau yang telah membuat adikku tarauma”. Wandes hilang kendali ia begitu sangat marah. “ Marvel yang masih bungkam menjadi lebih bingung dengan semua ini” ia semkin tertekan.  Wandes menelpon satpam dan menyuruh  mengeluarkan Marvel dengan cara paksa”. “ Saat itu juga Marvel mengucapkan “Barbie!!, Barbie !! tunggu pembicaraan kita belum selesai “.
 Tapi sedikitpun tak direspon  baik oleh Wandes”. Benar-benar gila aku dibuatnya. Rasanya masih tak dapat ku percaya, ia teman dekatku dan dialah tersangka adik kandungku sendiri’. Pantaskah aku marah?, pantaskah aku bahagia ? bertemu pangeran kecilku dulu? Ataukah aku harus diam saja!!!” Sambil menyandarkan kepalanya di dinding, kemudian Wandes mengeluarkan air mata. ” Tuhan !! inilah  masalah yang membuatku lemah tak berdaya. ”Dimana aku harus melihat Marvel temanku dulu menjadi penyebab trauma adikku. Ternyata inilah masalah yang paling berat sepanjang aku berada disini. Beberapa hari Wandes hanya mengurung diri dikamar, seolah tak perduli dengan apa yang terjadi di luar sana”. Hand phonnya terus berbunyi, sebuah panggilan dari pasien pertamanaya  Rani dan Wildan. Semua diabaikan begitu saja. Jangankan orang lain Rindi  teman satu kostnya hanya bisa duduk bersebelah saja, tanpa mau Wandes untuk bercerita.  Rindi sendiri merasakan imbasnya. Emosi Wandes terus dilampiaskan pada Rindi. Rindi kerap kali dijadikan kambing hitam masalah ini. Semenjak itu Wandes sering marah-marah bahkan membentakku. Aku sendiri jadi serba salah. Yang lebih fatalnya Ia hampir melukaiku. Untungnya  aku bisa membelah diri. Seperti tidak memiliki rasa kemanusiaan. Padahal sama-sama perempuan. Aku membiarkannya tenang dikamar dan menguncinya. Sampai keadaanya benar-benar pulih.
Dua bulan kemudian dengan tiba-tiba Marvel berkunjung ke rumah Wandes, ia memohon ma’af atas kehilafannya selama ini. Termasuk pada adiknya. Dia mengakui bahwa dialah yang menabrak dek Hanny lima tahun yang lalu. “ Hanny yang kaget melihatnya, “orang yang menabrakku, sekarang ada dihadapanku”. Anehnya semenjak Marvel meminta ma’af, kebiasaan Hanny tidur larut malam hilang. Mungkin itu pertanda jika kata ma’af dapat menyembuhkannya. Wandes yang saat itu kalut dan bersikap tidak manusiawi pada Marvel merasa bersalah. Namun terlanjur Marvel lebih dulu mengulurkan tangan meminta ma’af pada Barbienya. Memory lama pun lahir kembali, ketika mereka bercerita masa SMA dulu. Namun Hukum tetap berjalan, Marvel akhirnya ditahan di sel. Wandes yang ikut kesana ditemani Rindi sahabatnya, Merasa sedih tapi harus bisa mengikhlaskan.
Walau telah jatuh dari masa lalu, manusia harus memiliki jiwa kemanusiaan, mengakui kesalahan walau berujung pada sebuah hukuman. kita harus tahu bahwa setiap kesulitan ada kemudahan dan setiap kemudahan ada kesulitan. Setiap kesusahan, setiap kegagalan, setiap kecacatan, setiap keadaan dan pengalaman yang tidak menyenangkan, memiliki faedah yang sepadan, dan sering kali dalam bentuk yang tersembunyi.
Tak ada seorang yang melayari samudra kehidupan ini tanpa benturan rintangan dan menderita bermcam-macam kemunduran. Semua manusia merasakan lika-liku itu hanya saja kita dituntut untuk memutuskan rintangan dan benturan itu sebagai pagar rintangan yang bisa diatasi.

Jumat, 24 Februari 2012


Semangat Si Anak Cacat
Oleh: Uswatun Hasanah


Namaku Syaipul. Aku tinggal di sebuah perumahan kompleks  desa  Sidodadi. Ayahku seorang pegawai Negeri. Bekerja di kantor  kecamatan, dan ibuku sendiri hanya sebagai ibu rumah tangga. Mencuci, memasak dan lain-lain. Saat ini umurku sembilan tahun, tetapi aku tidak dimasukkan sekolah. Dulu ayah ibuku pernah membujukku agar aku masuk sekolah, tapi aku sendiri tidak mau. Dibujuk terus setiap hari, aku malah jatuh sakit. Sejak saat itu, Ayah Ibuku tak pernah lagi menyinggung-nyinggung tentang sekolah.
            Rasanya ku sudah rela menerima keadaan ini. Dirumah kerjaku hanya membantu Ibu sejauh kemampuanku. Melipat pakaian, membersihkan meja,kursi,  menggosok, dan lain-lain. Pokoknya segala pekerjaan yang bisa ku lakukan sambil duduk. Mengapa aku bersih keras tidak mau sekolah?? Karena kakiku cacat. Cacat bawaan sejak lahir, aku malu cacatku ini menjadi tontonan banyak orang. Kemudian mereka mengejekku, menghinaku, atau kasihan padaku. Itulah hal yang ku takutkan selama ini. Karena jika itu terjadi semuanya membuatku sedih berkepanjangan.
            Menurut cerita Ibu seminggu setelah kelahiranku, aku mengalami demam. Hampir 2 minggu panasku tidak turun-turun, padahal usaha pengobatan sudah dilakukan. Pengobatan secara medis dan tradisional. Karena biaya sudah tidak ada, Ibu mengupayakan kesehatanku dengan ramuan-ramuan tradisional yang bisa dicari tanpa biaya. Usaha Ibu membuahkan hasil. Panas badanku berangsur turun. Kesehatanku semakin membaik, dan ketika Ibu membawaku ke dokter, aku sudah dinyatakan sembuh. Hari berikutnya badanku tumbuh normal, setiap ada penimbangan berat badanku terus bertambah. Akan tetapi ku tak menyangka ternyata ada kelainan pada bagian kakiku. Kakiku tidak ikut tumbuh, tapi justru menyusut dan bentuknya bengkok, lemah bagai tidak bertulang. Hingga usiaku 2 tahun aku belum bisa berjalan. Orang tuaku mulai cemas, tiap hari aku diajari berjalan, namun kakiku tak kunjung tegak. Orang pintar diundang untuk mengurut, tetapi juga tidak ada perubahan. Kemudian ada seorang teman Ayah yang memberi saran, agar aku diperiksakan ke dokter ahli bedah tulang. Kemudian kakiku dioperasi, kakiku juga tak bisa berjalan hingga sekarang umur sembilan tahun. Itulah salah satu penyebab mengapa aku tidak mau sekolah.
            Meskipun tidak sekolah, aku sudah bisa menghitung sampai seratus. Abjad A sampai Z sudah hafal dan sudah bisa membaca walaupun kurang lancar. Semua itu gurunya adalah Ibuku. Lebih-lebih setelah adikku lahir, perhatian Ibu menjadi terbagi, Ibu menjadi repot dan sangat sibuk. Aku kasihan melihatnya. Adikku perempuan lahir ke dunia setelah umurku empat tahun. Ayah Ibuku sepakat memberi nama Alfath Azahra. Kulitnya hitam tapi manis, sama dengan kulitku. Dan Ia tidak mempunyai cacat tubuh apapun. Ia bisa berlari-lari dengan lincah. Awalnya Aku merasa iri karena adikku  memiliki badan yang sempurna tidak  seperti aku. Karena sikap manjanya yang selalu menghampiri diriku, bahkan candanya membuatku tertawa. Sehingga perasaan iri tersebut hilang seketika. Hari-hari kulewati bersamanya dan ku merasakan kesejukan setiap melihat Alfath tersenyum lebar dan selalu periang. Kini umur adikku sudah berjalan enam tahun. Ketika adikku umur lima tahun, ia mau dimasukkan sekolah taman kanak-kanak. Tetapi ia tidak mau. Dipaksa, diantar, dan ditunggu oleh Ibu, tetapi juga tak mau. Kata Alfath maunya kalau bersamaku.”Alfath mau sekolah, tapi bersama Mas Pul !!. Kalau Mas Pul tidak sekolah Alfath juga tidak mau sekolah !!. Alfath ingin belajar dirumah saja bersama Mas Pul !!!”. Katanya selalu”.
            Hal itu menyebabkan Ayah dan Ibuku kewalahan. Akhirnya usia taman kanak-kanak itu berlalu begitu saja. Setelah usia adikku genap enam tahun. Sebelum pendaftaran sekolah dasar dibuka, Ayah dan Ibu sudah mulai membujuknya. Namun Alfath tetap pada pendiriannya. Ia tak mau sekolah tanpa aku bersamanya. Orang tuaku menjadi bingung, merenung mencari jalan keluar. Sebentar memandangiku sebentar kemudian memandang Alfath. Namun setelah tak menemukan jawaban, Ayah Ibuku langsung kebelakang, dan seperti biasa Ibu menuju dapur. ”Mas Pul mau sekolah bersama Alfath?? ”Tanya adikku tiba-tiba. Akupun terkejut sesaat aku tak  bisa menjawab. Ia mengulangi pertanyaannya.”Mas !! maukan sekolah bersama Alfath?? ”kupandangi wajahnya yang bening dan jujur, seolah-olah sangat mengharapkan jawabanku”. Mas tak mau sekolah dik! Adik saja yang sekolah. Mas dirumah ingin membantu Ibu. Mas harus sekolah !! supaya Mas bisa membaca dan menulis, katanya merengek.   Aku menjadi jengkel dengan ulahnya, mengapa Ia pura-pura tak mengerti dengan keadaanku.
            Kemudian aku menyuruhnya main keluar, tapi Alfath tidak mau. ”Mas harus berjanji dulu bahwa Mas mau masuk sekolah bersama Alfath. ”Alfath kamu ini bagaimana? tidak kasihan sama Mas,ya? lihat bentuk kaki Mas !! lihat nih…Aku menyuruh membuka matanya lebar-lebar agar ia lebih seksama melihat cacatku. Ia terdiam seketika. ”Mengapa diam saja ? tanyaku dengan suara keras. Alfath senang kalau Mas diejekan?”Ia menggeleng.”Nah itu baru saudara!, kalau Alfath kasihan, jangan paksa Mas masuk sekolah ya !!. Alfath sekolah sendiri saja, nanti kalau sudah pandai membaca dan menulis, Alfath ajari Mas. Tidak mau, Mas harus sekolah !!! Alfath sedih kalau Mas tidak sekolah. Dik, umur Mas sudah sembilan tahun. Malu kalau masih dikelas satu. Lagi pula anak cacat seperti Mas tentu tidak diterima  masuk sekolah.”Adikku langsung menangis tersedu-sedu setelah tidak berhasil membujukku”.
            Beberapa hari setelah percakapan itu, pendaftaran masuk sekolah dasar dibuka. Ayah membujukku agar aku ikut mengantar Alfath mendaftar di SD Negeri sebab tanpa aku bersamanya, Ia pasti tidak mau. Untuk bohong-bohongan saja Pul agar Adikmu mau!! ”kata Ayah. Peristiwa lucu itu pun terjadi, aku dikenakan baju seragam putih merah, topi, sepatu, dan juga kaos kaki. Kemudian aku dibonceng naik sepeda oleh Ayahku dan Adikku dibonceng Ibu, Karena jarak sekolah dengan rumahku tidak terlalu jauh. Adikku tampak bahagia dan ceria karena keinginannya pergi bersamaku bisa terpenuhi. Sampai disekolah kami menemui Bapak Kepala Sekolah. ”Mari jawab Bapak kepala sekolah dengan ramah. Beliau memandangi kami secara bergantian. Dan beliau pasti tidak mengira kalau kakiku cacat. Sebab dengan melihat sepintas saja, cacat kakiku memang tidak tampak. Bagaimanapun kakiku masih bebentuk. Apalagi ditutup dengan kaos kaki dan sepatu. Mana akta kelahirannya”? kata Bapak kepala sekolah. Kemudian Ayah menyerahkan akta kelahiran milik Adikku. lho…kok Cuma satu?? kakaknya sudah sekolah dimana?”. Tidak sekolah, kakinya cacat bawaan Pak. Tidak bisa berjalan kalau pergi jauh, tetapi kalau dirumah, Ia ngesot saja. ”Saya kira mau ikut mendaftar jadi murid baru. Kenapa memakai baju seragam? ”Bapak lalu menjelaskan, yang intinya untuk membohongi Adikku agar Ia mau masuk sekolah. Ternyata Adikku mengerti kalau dibohongi”tidak mau!! Alfath tidak mau sekolah tanpa Mas Pul !! kalau Mas tidak sekolah, Alfath juga tidak mau sekolah”!. Sahut Alfath dengan nada kesal dan kecewa. Iya Mas juga mau sekolah. ”bujuk Ibu. Kemudian Ibu sengaja membawa Alfath keluar untuk menenangkan adikku. Bagaimana Pak, kalau tanpa ditemani kakaknya ternyata Ia tidak mau sekolah!! ”tanya Ayahku yang bermaksud membuka pembicaraan. Ya memang repot, namun Saya sarankan sebaiknya kakanya ini didaftarkan saja!. Apakah sekolah ini bisa menerima anak cacat? ”tanya Ayahku sedikit ragu”. Pada dasarnya bisa saja karena setiap anak berhak memperoleh pendidikan. Walaupun sebenarnya ada sekolah tersendiri untuk anak cacat. Tetapi kalau tidak mau sekolah disana, biar sekolah disini saja bersama Adiknya”. Begitu kata Bapak kepala sekolah.
            Tidak lama kemudian Ayahku bertanya, ”Apa saja syaratnya pak ?” Bapak kepala sekolah menjawab begini pak setiap hari selama jam sekolah anak Bapak harus ada yang menunggu. Sebab apabila terjadi sesuatu pada anak Bapak, guru-guru tidak terlalu repot. Kalau begitu kami tidak keberatan. Sebelum dan sesudahnya kami mengucapkan terima kasih atas kesediaan Bapak menerima anak kami. Sama-sama Pak!. Yah Syaipul tak mau sekolah, ”kataku memprotes. ”Lho..katanya mau jadi anak pintar. ”Tidak mau, Syaipul tidak mau merepotkan banyak orang!! Pul dirumah saja membantu Ibu!”. Pul tidak kasihan sama Adik?? ”Aku diam saja aku bingung. Rasanya aku ingin menangis saja. Umurnya berapa tahun? ”Tanya bapak kepala sekolah. Sudah sembilan tahun, Pak. Kalau begitu sudah telat 3 tahun. Namun tidak apa, mudah-mudahan bisa lancar. ”tambahnya memberikan semangat”. Ayahku tidak menggubris protesku. Tetapi buru-buru mohon diri pada Bapak kepala sekolah. Sambil menggendongku keluar kami berpamitan.
            Mengapa Pul ? “tanya Ibu yang sejak tadi diluar bersama adikku. Syaipul nakal Bu, Ia tidak mau sekolah. Jawab Ayah. Mau dong kan menemani Adik, kata Ibu. Ayah dan Ibu saling berpandangan sejenak, setelah itu kami beriringan pulang. Begitu sampai dihalaman rumah, aku tidak mampu menahan tangisku lagi. Aku sangat sedih, bukan karena disuruh sekolah, melainkan karena cacat tubuhku. Kemudian ayah dan ibu membujukku dengan kasih sayang. Namun aku sulit menghentikan tangisku, yang terjadi justru air mata semakin bercucuran. Alfath ikut menangis. Ibu pun meneteskan air mata. Suasana saat itu sangat mengharukan. Sudah Pul, kalau  tidak mau menemani Adik, biar nanti ditemani Ibu. Sudah diam, ”bujuk Ibu sambil mengelus kepalaku. Dan lambat laun tangisku mulai reda. Hal itu menumbuhkan keberanian Alfath untuk mendekatiku. Ia duduk disisiku, menatapku lalu dia berkata “Mas sayang sama Ibu? Aku mengangguk, ”Mas sayang sama Ibu? Aku mengangguk, ”sayang sama Alfath? Aku tetap mengangguk, ”mas sayang semuanya kan? sekali lagi Aku mengangguk”. Kalau begitu Mas Pul harus menemani Alfath sekolah, dong!!”. ”Katanya dengan suara ringan. Tanpa kusadari aku pun mengangguk.
            Keesokan harinya Alfath sangat bersemangat untuk berangkat ke sekolah. Dan Ia mengajak kembali Mas Pul agar mau menemaninya sekolah, tetapi Mas Pul kan sakit Fath. Alfath mau ditemani Ibu atau Ayah? “tanya Ibu seketika”. Adikku tidak menjawab, Ia ngambek. Ia menjatuhkan diri kelantai, berguling-guling sambil menangis. Tidak!! Alfath tidak mau sekolah kalau tidak bersama Mas Pul. Tiba-tiba Ia bangkit dan lari ke kamar. Tak lama kemudian Ia keluar sambil membawa baju merah putih untukku. Ganti baju Mas!! ayo kita sekolah!, Alfath tidak mau sendiri, katanya dengan suara terbata-bata. Diraihnya tanganku dan dipegangnya erat-erat kedadanya. Seketika aku jadi sangat terharu, Ibu yang melihat kami berdua tampaknya sangat sedih.
            Syaipul temani adikmu, nak. Biar Ia mau sekolah. ”kata Ibu dengan lembut. Syaipul kasihan sama Adik kan? agak berat aku menjawab, namun akhirnya aku mengangguk juga. Begitu aku mengangguk, Ibu langsung memeluk dan menciumku. Terima kasih Pul, kau adalah putra Ibu yang tersayang. Satu bulan kini telah berlalu, siapa yang menduga ternyata Syaipul disenangi banyak temannya disekolah karena Syaipul anak yang pintar dan terkesan rendah hati. Sehingga bertambahlah semangat Syaipul untuk meneruskan sekolah. Bukan itu saja Syaipul juga menjadi anak kesayangan guru, karena Ia jadi seorang bintang kelas Sejenak Syaipul terdiam sambil berkata dala hati. ”Betapa bahagianya aku saat ini, Tuhan,  ternyata kekurangan yang kumiliki tidak menjadikan diriku merasa terbebani. Dan aku lebih meyakini bahwa dibalik segala sesuatu yang terjadi pasti ada hikmahnya. walaupun awalnya aku sempat mengeluh dengan keadaanku. Terima kasih Tuhan atas karunia yang telah kau berikan padaku.

                        
(Telah diterbitkan di gema langkat )


Pelepas Rindu Buat Sang Guru
Oleh : Uswatun Hasanah
“ Jay,…Jay!!, kemarilah aku punya kabar baik untukmu, seru Fikri dengan tergesa-gesa’. “liatlah apa yang ku bawa dalam kantong ini?’ emang paan?”. Sepasang  jam tangan yang sama”. “Bagus sekali jam ini?’. Dari mana kau dapat ?’tanya Jayan”. Ini jam dari pamanku dia baru pulang dari Paris”. “ Apa Paris ?? ya kenapa kamu terkejut “Tanya Fikri”. “Paris  itu tempat impianku, aku berharap bisa kesana suatu saat nanti dan melihat langsung menara eifel dengan mata telanjangku’.”Cie,,,cie,,, yang punya impian,’ ejek Fikri ‘. “Setiap orang pasti punya impian, lagian mimpi itu kan gratis tanpa dipungut biaya” jawab Jayan membela diri”. “ wah,,,wah,,wah,,, kenapa jadi nyeritain impian nie,,,,tadi kan kita membahas jam tangan”. Ha,,,ha,,, mereka pun tertawa kompak”.
Fikri adalah sahabtaku sejak SMP sampai sekarang di bangku SMA namun tidak satu kelas. Fikri mengambil jurusan IPS dan aku mengambil jurusan IPA. Dia selalu baik padaku bahkan sering belajar bareng  membahas pelajaran yang sama  dirumahnya. Dia sengaja membawa dua pasang jam tangan yang sama. Satu untuknya dan satu lagi untukku. Padahal jika dilihat jam itu terlalu mahal buatku. Tapi Fikri terus mendesakku agar aku mau menerima pemberiannya. Akhirnya jam itu pun ku simpan dengan baik di dalam laciku. Dan sesekali ku pakai jika menghadiri acara –acara resmi.
          Namun disetiap pertemanan pasti memiliki perbedaan. Aku dan Fikri tak bisa menyatu ketika membahas masalah asmara. Itulah perbedaan kami. Kesamaan kami dari segi pelajaran. Kami sama-sama menyukai pelajaran Matematika.
Saat itu aku sangat mengidolakan Pak Shaleh sebagai guru Matematika dikelasku. Walaupun sudah tua semangatnya belum luntur untuk membagi ilmunya pada kami. Pak Shaleh telah banyak menginspirasikan murid-muridnya, termasuk Jayan.Yang merasa tertarik dengan cara Pak Shaleh mendidik.  Pernah Jayan singgah kerumah Pak Shaleh. Subhanallah semua sisi rumahnya terpajang rumus-rumus dan kata-kata bijak yang di bingkai rapi olehnya. “ Dan ada bagian sisi yang dikosongkan.” Pak kenapa sisi sdekat sudut ruangan ini kosong ?”Tanya Jayan penasaran”. ‘Iya saya sengaja mengosongkan sisi itu, karena akan lebih sempurna jika ada foto idola saya terpajang di bagian itu?’. ” Emang idola Bapak siapa?”Tanya Jayan kembali”. Saya sering koq menyebut namanya ketika saya sedang mengajar pasti kamu tau”. “Oh Albert Einsten ya pak?” Jawab Jayan menebak”. Ya, benar dugaanmu”. Tetapi uang Bapak belum ukup untuk membelinya. “Jika saya nanti sudah menjadi orang sukses saya janji akan membawa lukisan Albert Einsten terpampang di dinding ini Pak”, “Ujar Jayan berucap janji”. Ya semoga kamu jadi orang sukses nantinya” Jawab Pak Shaleh mendo’akan”. Kebanyakan orang selalu mengidolakan Artis dan Aktor papan atas sebagai idolanya, tapi tidak dengan Pak Shaleh ia malah mengidolakan orang yang sudah meninggal dunia.’Sungguh berjiwa besar sekali Pak Shaleh ini,’Batin Jayan dalam hati”.
            Beberapa tahun kemudian setelah Jayan lulus sekolah. Ia mendapat pekerjaan yang mengharuskannya tinggal di Paris tempat impiannya itu. Ia menandatangani surat kontrak selama dua tahun bekerja disana sebagai Teller di sebuah Bank”. Menara eifel menjadi tujuan utamanya ketika pertama kali menginjakkan kaki di Paris. Namun demikian Jayan selalu memberi kabar pada idolanya Pak Shaleh. Sepanjang jalan menuju Paris komunikasi terus berjalan sampai diakhir pembicaraan Pak Shaleh berpesan agar dapat berbuat baik dengan siapa saja dan jangan cepat menyepelekan sesuatu hal yang kecil’. Satu tahun sudah berlalu, Jayan telah menjadi orang sukses dan semakin disibukkan dengan pekerjaannya di Bank. Komunikasinya sudah berkurang dengan sang Idola. Ditambah lagi saat itu Handphonenya terjatuh dikolam dekat rumahnya. Sehingga Handphonenya tak dapat disembuhaknlagi. Yang paling mengesalkan adalah nomor pa Shaleh yang mendadak hilang karena disimpan dalam memory telepon. Semakin panik wajah Jayan. Pasalnya sudah dua minggu ini dia belum ada komunikasi dengan Pak Shaleh.
Seminggu kemudian Jayan terpaksa melepas rindu, menanyakan kabar itu melalui surat. Saat surat itu samapai ketangan Pak Shaleh, Bapak itu  dalam keadaan sakit dan dirawat dirumah sakit. Ia sempat membaca sekilas, kemudian menyuruh anaknya untuk membalas surat tersebut, namun satu bulan kemudian barulah Jayan menerima balasan surat itu. Entah kenapa bisa sampai selama itu. “Saat itu Jayan langsung membaca dan menyimpan kembali nomor Pak Shaleh yang tertulis di surat itu. Sangat terkejut ketika membaca Kalimat terkahir di dalam surat itu. “Akhir kata saya  berterima kasih atas waktu kak Jayan untuk menyempatkan diri menulis surat pelepas rindu terhadap Ayah saya”. Tapi mohon ma’af saat ini Ayah jangan diganggu dulu karena keadaan beliau sedang dalam perawatan dokter”. Terima kasih wasalam”. Kalimat itu membuat Jayan sangat terpukul, ia meneteskan air mata duka mendengar idolanya dirawat dirumah sakit. Tubuhnya lunglai tak berdaya. 
Lusa Jayan pun memutuskan kembali ke kampung halaman untuk melihat keadaan sang idola. “Semua rapat di pending sampai tiga hari kedepan, Saat hendak membeli tiket tiba-tiba mobilnya mogok di depan toko. Jayan pun berhenti sejenak menunggu perbaikan mobil yang diperbaiki Sopirnya. Matanya mengarah toko itu dan membaca sebuah tulisan “ Dunia seni, Dunia abadi” kata-kata itu mengingatkankan kembali pada memorinya dua tahun yang lalu, bahwa ia pernah berjanji untuk memberi lukisan Albert Einsten untuk sang Idola. Tanpa berpikir panjang Jayan langsung masuk ke toko tersebut matanya jeli melihat kanan kiri mencari gambar Albert Einsten namun belum juga terlihat. Hanya ada satu ruangan lagi yang belum dilihatnya. Saat ia masuk terpampang besar lukisan Albert Einsten yang sedang duduk bersandar di atas kursi. Gagah sekali jika diliat. Akhirnya aku pulang bersama Lukisan Albert Einsten dan langsung membawanya kerumah sakit. Tapi sayang saat tiba dirumah sakit Pak Shaleh sedang di operasi . Aku hanya ditemani anaknya. Dan terus berdoa’a agar operasinya berjalan dengan lancar. Satu jam berada di ruang tunggu membuatku lelah dan tertidur  lelap. Sampai operasi selesai Pak Shaleh belum sadarkan diri. Jayan sengaja memajangkan lukisan itu di dinding rumah sakit. Dua jam kemudian barulah Pak Shaleh mulai membuka matanya dan menggerakkan tangannya. “Saat matanya terbuka Ia langsung memandang wajah sang idolanya Albert Einsten yang kelihatan gagah sekali.” Siapa yang memberikan ini?” Tanya Pak Shaleh pada anaknya.” Orang yang mengidolakan Ayah selama ini”. Jayan ?” dimana Dia ? ”Tanyanya lagi”. Dari balik pintu Jayan yang sudah sukses muncul menampakkan dirinya. Betapa senang rasanya Pak Shaleh dapt melihat Jayan . Jayan langsung  memeluk Pak Shaleh. “Saya lega rasanya, janji yang sudah lama tersimpan dua tahun silam dapat terpenuhi Pak”. “Benarkah ini idola Bapak?” Tanya Jayan menggoda”. ‘Ha,,,ha,,, Pak Shaleh tertawa mendengarnya”. Akhirnya Jayan ikut mengantar Pak Shaleh pulang dan membantu memajangkan Lukisan indah itu ke sisi dinding yang kosong. Kemudian Pak Shaleh yang sedang duduk di kursi roda melihat Jayan memasang likisan itu. Pak Shaleh pun mengacungkan Jempol kehadapan Jayan sambil tersenyum bahagia.
                                                ***